Minggu, 01 Agustus 2010

Ida Pedanda Gede Made Pidada Keniten, Seorang Pandita Reformis


Dengan mencakupkan tangan di atas kepala saya mempersembahkan bhakti saya kepada Beliau yang sudah mencapai Siddha Dewata, Ida Pedanda Gde Made Pidada Keniten, semoga beliau senantiasa menyinari hati dan pikiran saya menuju jalan yang terang. Dulu di tahun 1960-an saya mengenal seorang pandita berpakaian militer yang oleh masyarakat dikenal dengan Pedanda Letnan yang datang ke kampung kami di Karangasem, Bali, memimpin upacara Palebon (Ngaben) seorang anggota TNI-AD yang gugur di Palopo, dan lama kemudian baru saya tahu beliau adalah Ida Pedanda Gede Wayan Sidemen. Ketika saya mulai kuliah di Institut Hindu Dharma pada tahun 1973, pada saat acara Mahasisya Upanayana (pawintenan), upacara itu dipimpin oleh Ida Pedanda Gde Made Pidada Keniten yang ternyata seorang anggota TNI-AD dengan pangkat Mayor Tituler.
Kedua Ida Pedanda yang anggota TNI-AD tersebut adalah dua bersaudara yang mengabdikan diri dalam dunia rawatan rohani Hindu di TNI-AD, leluhur beliau berasal dari Karangasem, namun telah lama dan beliau lahir di kota Mataram. Kedua pandita tersebut sangat berjasa bagi umat Hindu di Indonesia, karena keduanya pernah duduk dalam beberapa periode kepengurusan, pengurus harian dan juga sebagai anggota Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat.
Perkenalan dengan Almarhum Ida Pedanda Gde Made Pidada Keniten sejak saat tersebut berlanjut, karena ternyata beliau memberi kesempatan kepada saya untuk turut mengabdi sebagai tenaga honorer di Rohindam (Rawatan Rohani Hindu Kodam) XVI/Udayana. Ketika beliau ditarik ke Jakarta menggantikan kakak beliau, Letnan Kolonel (Tit) Ida Pedanda Gde Wayan Sidemen sebagai Kadisroh Hindu Mabes TNIAD, saya sedang menyelesaikan kuliah di Institut Hindu Dharma, kakak kelas saya di PGA Hindu Negeri Denpasar, Putu Widnya mengikuti beliau ke Jakarta bersama beberapa teman dan yang bersangkutan selesai mengikuti kuliah ekstension di FH Ul, meninggalkan Disroh TNI-AD dan masuk sebagai PNS di Dep. Kehakiman, kini kakak Putu Widnya sebagai Ketua Pengadilan Negeri Tabanan.
Ketika baru menginjakkan kaki di Rohindam XVI/Udayana, Ida Pedanda Gde Made Pidada Keniten langsung meminta saya mengikuti beliau memberikan pembinaan mental (ceramah agama Hindu) di Paldam (Peralatan Kodam) Udayana yang terletak di Jalan Gunung Agung, Denpasar, ternyata beliau hanya memperkenalkan saya kepada peserta ceramah, yakni anggota TNI-AD, pegawai sipil Kodam dan keluarganya yang memenuhi aula kantor tersebut. Saat itu benar-benar saya buta tentang kepangkatan di TNI-AD atau pangkat militer pada umumnya. Saya tidak mengerti pangkat yang mana lebih tinggi dan mana yang lebih rendah, bahkan Sersan Mayor saya kira pangkat yang tertinggi di lingkungan TNI-AD, karena banyak strip di pundaknya. Saya diminta langsung memberikan ceramah dan betapa terkejut, gemetar dan penuh keragu-raguan saya berceramah tentang tujuan hidup beragama. Saya tidak menduga cemarah tersebut berlangsung mengesankan dan seorang Letkol saat itu, meminta kepada Ida Pedanda supaya menugaskan saya di sana yang wajib datang setiap minggu sekali untuk bereeramah di kantor tersebut. Ida Pedanda nampaknya puas dengan penampilan saya yang benar-benar grogi saat itu.
Dalam pergaulan sehari-hari beliau sangat ramah, selalu menanyakan kesehatan keluarga, tentang studi dan sebagainya dan ketika sedikit ada waktu untuk berdiskusi, beliau selalu membuka diri untuk berdiskusi dengan staf dan saya beruntung sekali, banyak hal yang dapat saya tanyakan kepada beliau untuk menambah wawasan kami yang baru tingkat 1 (kini semester I) di Fakultas Agama dan Kebudayaan, Institut Hindu Dharma Denpasar saat itu. Satu pertanyaan yang tidak pernah saya lupakan adalah ketika saya tanyakan tentang Surya atau Siwa dan hubungannya dengan Sisya. Saya diberi tahu oleh orang-orang tua saya jangan sampai meninggalkan Surya, jangan pindah ma-Surya dan jangan mohon Tirtha dari pandita lainnya kecuali Surya kita! Teryata beliau sangat jauh membuka wawasan saya tentang hal itu. Jawaban beliau hampir sama dengan jawaban guru saya di PGA Hindu Negeri Denpasar (1970), almarhum 1 Gusti Bagus Sugriwa, seorang tokoh Hindu yang berjuang habis-habisan agar agama Hindu diakui oleh Pemerintah R.I. dan diberi fasilitas yang sama dengan agama lainnya di Departemen Agama. Kini almarhum 1 Gusti Bagus Sugriwa diabadikan melalui patung beliau yang dibangun oleh para siswa beliau, ketika Bapak Drs. 1 Ketut Wiana sebagai Kepala PGA Hindu Negeri Denpasar, tahun 1982 dan ketika PGA Hindu itu dibubarkan, 3 tahun kemudian (1993) baru statusnya ditingkatkan menjadi APGAH N Denpasar dan pada tahun 1999 menjadi STAH Negeri Denpasar. Kini patung almarhum 1 Gusti Bagus Sugriwa berdiri tegak di STAH Negeri Denpasar memberi inspirasi kepada para dosen dan mahasiswa.
Kembali kepada jawaban Ida Pedanda Gde Made Pidada Keniten. Beliau secara tegas menyatakan pengertian tentang Surya atau Siwa. Siapa saja yang memberi pencerahan kepada anda, dialah yang berhak disebut Surya atau Siwa. Tidak masalah orang pindah atau berhenti ma-Surya, bila Surya tersebut tidak pernah memberi pencerahan kepada sisyanya. Saya benar-benar merasa plong. Sejak saat itu baru saya memahami tentang kedudukan dan fungsi pandita Hindu.
Salah satu tindakan reformis yang beliau lakukan adalah menobatkan 11 orang pandita dari etnis Jawa di Provinsi Jawa Timur dan menurut beliau, ketika menghadiri sebuah Paruman Sulinggih (Paruman Sabha Pandita) di Lombok dan Bali, beliau sering dikritik oleh sesama sulinggih, terutama mereka yang berasal dari keturunan Dang Hyang Dwijendra. Kenapa beliau berani men-diksa mereka yang bukan keturunan Brahmana dan tidak jelas asal-usulnya? Berbagai pertanyaan gencar ditujukan kepada beliau, namun beliau dengan senyum manis dan lemah lembut menjawab, bahwa tidak ada sastra atau Veda dan lontar-lontar di Bali yang menyatakan pandita itu lahir dari rahim seorang pandita. Bila kedua orang tuanya pandita, anak yang dilahirkan oleh pandita itu tidak secara otomatis menjadi pandita. Pandita selalu lahir dari sastra Veda melalui upacara “Diksa” dengan merujuk kitab Siwa Sasana, Silakrama dan lain-lain dan menurut keputusan Mahasabha II tahun 1968, secara tegas dinyatakan, siapa saja berhak dan dapat menjadi seorang pandita Hindu sesuai dengan ketentuan sastra agama yang berlaku, dengan tidak memandang dari keluarga atau keturunan siapa, seseorang yang memiliki kemampuan untuk itu dapat di-Diksa manjadi seorang pandita Hindu.
Berjanji Ngiring Pekayunan (mengikuti kehendaknya)
Dalam suatu kesempatan di tahun 1983 beliau datang dari Jakarta ke Geria Tegeh Amlapura, geria asal beliau dan melalui seorang utusan beliau memanggil saya untuk segera menghadap. Sebagai bawahan yang patuh (pangkat militer saya waktu itu Letnan Satu) saya dengan penuh hormat dan bhakti menghadap beliau. Ternyata, beliau telah menunggu, kami hanya berdua di ruangan beliau. Di luar dugaan beliau berkata: “Made, Beli (kakak) segera akan mati! Beli menginginkan Made menjadi anak saya! Anak yang saya maksud melebihi anak kandung saya. Made akan Beli jadikan putra dalam dharma! Tegasnya akan saya jadikan anda seorang pandita Hindu, akan saya Diksa nanti bersamaan dengan menantu dan anak-anak saya (putra dalam dharma) lainnya! Beli minta kesediaan Made! Anda tidak perlu bicara lagi karena saya tahu siapa sebenarnya dalam diri anda! Nanti, bila anda bersedia, saya tidak akan memberi nama Ida Pedanda atau yang lainnya seperti di Bali, tetapi akan saya beri bhiseka “pandita” seperti aslinya tersebut dalam sastra Hindu!”. Saya terkejut, gemetar, khelu tidak bias menjawab. Air mata saya berlinang di pipi tidak dapat menahan diri! Ampura Ratu Ida Pedanda (mohon maaf), saya junjung karunia Ida Pedanda di atas kepala saya, namun kini dengan kerendahan hati saya belum ngiring! Nanti sekiranya memungkinkan kami ngiring pikayun Pelungguh Ratu Pedanda. Beliau berkata lesu: “Yaah, Beli cepat akan kembali ke alam sana”!. Mohon maaf kami saat ini belum mampu mengikutinya.
Demikian ketika penobatan Ida Pedanda Gde Ketut Sebali Tianyar Arimbawa, kini Dharma Adhyaksa Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, saya hadir di tempat upacara dengan menundukkan kepala tidak berani memandang wajah almarhum dan dalam hati kecil hanya berdoa semoga karunianya itu pada saatnya saya dapat realisasikan. Hal ini cukup lama saya pendam, ketika Bapak Kolonel Inf N. Dana meminta saya menulis tentang beliau, Ida Pedanda Gde Made Keniten yang kini sudah amoring acinthya, sudah mencapai siddhadewata, saya sampaikan hal ini sebagai upaya untuk memperteguh karunia beliau yang sangat maju dan benar-benar seorang pandita Hindu yang reformis dan hal ini dapat saya bandingkan dengan Swami Dayananda Saraswati, pendiri Arya Samaj dan Gurukula Kangri di India, yang benar-benar reformis, yang mampu mengembalikan iman Hindu yang saat itu banyak umat beralih agama karena penjajah Inggris dengan berbagai iming-iming, Swami Dayananda memproklamirkan, setiap orang dapat menjadi seorang Brahmana bila telah didiksa melalui pemberian benang Upawita dan mengikuti upacara Agnihotra. Peryataan beliau banyak mendapat sambutan dan ribuan orang kembali mengikuti ajaran agama Hindu, menjadi Brahmana Arya Samaj dengan upacara yang sangat sederhana dan setiap hari melaksanakan Agnihotra. Ratusan sekolah dan perguruan tinggi bernafaskan Hindu didirikan, asram-asram dengan pabrik farmamsi, mengelola pertanian yang maju, memberi pendidikan manajemen, bisnis dan sebagainya tersebar hampir di seluruh India. Demikian pula pelajaran bahasa Sanskerta dan kitab suci Veda selalu dan mesti diajarkan untuk dipahami dan diamalkan, karena dalam kitab suci Veda terdapat berbagai cabang ilmu pengetahuan baik spiritual maupun untuk kehidupan duniawi berdasarkan Dharma
(I Made Titib)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar